NUNUKAN,klikkaltara.id – Anggota DPRD Nunukan, Donal mendesak Pemerintah Pusat untuk mengambil langkah tegas dalam menyelesaikan konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat dan perusahaan pemegang izin konsesi di wilayah perbatasan.
Desakan tersebut disampaikan Donal saat mendampingi perwakilan masyarakat adat dalam audiensi resmi bersama Direktorat Penanganan Konflik Teturial dan Hutan Adat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta, belum lama ini.
“Negara tidak boleh terlihat lemah dalam menghadapi persoalan yang menyangkut kepentingan rakyat banyak. Negara harus menunjukkan keberpihakan kepada keadilan. Persoalan agraria di Nunukan tidak bisa terus dibiarkan berlarut. Rakyat butuh kepastian hukum atas ruang hidup mereka,” tegas Donal.
Menurutnya, penyelesaian konflik lahan di Nunukan selama ini berjalan lamban, sementara masyarakat adat yang sudah turun-temurun bermukim di tanah leluhur justru sering terdesak oleh kepentingan korporasi.
“Banyak masyarakat yang tiba-tiba dianggap tinggal di dalam kawasan konsesi perusahaan. Mereka akhirnya kehilangan akses untuk mengurus legalitas tanah, sulit memperoleh pembangunan, dan hidup dalam tekanan,” ujarnya.
Donal menyoroti salah satu konflik yang belum terselesaikan hingga kini, yakni antara warga dengan PT Adindo Hutani Lestari (AHL). Persoalan tersebut, kata dia, sudah melalui berbagai tahapan mediasi, namun belum menghasilkan solusi yang nyata.
“Ini bukan soal menang atau kalah, tapi soal keadilan yang harus ditegakkan. Jangan sampai negara terkesan memberi ruang terlalu besar kepada perusahaan, sementara aspirasi masyarakat justru diabaikan,” ucapnya.
Politikus asal perbatasan itu meminta KLHK untuk segera turun langsung ke lapangan guna memastikan penyelesaian yang objektif dan berkeadilan. Ia juga mengusulkan pembentukan tim investigasi bersama yang melibatkan unsur pemerintah, DPR, pemerintah daerah, dan masyarakat adat.
“KLHK tidak cukup hanya menerima laporan di meja. Mereka harus melihat langsung kondisi masyarakat di lapangan yang hidup dalam ketidakpastian di tanahnya sendiri,” ucap Donal.
Selain itu, DPRD Nunukan berencana mengajukan rekomendasi resmi kepada KLHK, Kementerian ATR/BPN, dan Komisi IV DPR RI agar melakukan evaluasi terhadap izin usaha perusahaan yang masih menimbulkan konflik agraria.
“Negara harus hadir. Tidak boleh ada lagi masyarakat yang kehilangan haknya hanya karena lemah secara administrasi. Hukum harus berpihak pada kebenaran, bukan pada modal,” tegasnya.
Dalam forum audiensi tersebut, perwakilan masyarakat adat juga menyampaikan aspirasi agar konflik agraria di Nunukan mendapat perhatian serius dari pemerintah.
“Kami bukan menolak investasi. Kami hanya ingin hidup layak dan dihormati sebagai pemilik sah tanah adat kami,” kata Donal.
Donal menegaskan, penyelesaian konflik agraria di wilayah perbatasan bukan hanya soal kepemilikan tanah, tetapi juga menyangkut martabat bangsa dan kedaulatan negara.
“Konflik agraria di perbatasan bukan sekadar masalah lokal, tetapi soal kedaulatan dan martabat rakyat Indonesia di wilayah terdepan. Pemerintah harus memastikan rakyatnya terlindungi secara adil dan bermartabat,” tandasnya.
Ia mengungkapkan keprihatinan mendalam terhadap nasib masyarakat adat yang terdampak konflik. Menurutnya, di balik setiap sengketa tanah terdapat penderitaan manusia yang nyata.
“Ada ibu-ibu yang menangis karena kebunnya digusur, ada petani yang ditahan karena membela tanahnya, dan ada anak-anak yang tumbuh besar tanpa tahu apakah rumah yang mereka tinggali hari ini akan digusur besok,” tuturnya.
Donal menegaskan, perjuangan masyarakat adat di perbatasan adalah bentuk nyata mempertahankan hak hidup dan kehormatan bangsa.
“Jangan biarkan air mata rakyat jatuh sia-sia di tanah yang seharusnya milik mereka. Masyarakat adat di perbatasan bukan beban pembangunan, mereka adalah benteng terakhir negara,” pungkasnya. (Adv)















